ICDISS — MAHAPATIH Majapahit Gajah Mada memenuhi janjinya ketika terjadi peralihan kekuasaan raja. Memang awalnya Gayatri, nenek dari Hayam Wuruk sekaligus ibu kandung Tribhuwana Tunggadewi, raja yang berkuasa khawatir kepada Gajah Mada.
Saat itu, peralihan kekuasaan terjadi dari Tribhuwana Wijayatunggadewi ke anaknya Hayam Wuruk. Kebetulan saat itu Hayam Wuruk yang merupakan cucu dari Gayatri, naik takhta pada usia muda, yakni 16 tahun. Hal ini yang memicu Gayatri khawatir kepada Gajah Mada.
Kekhawatiran Gayatri bukan tanpa alasan. Gayatri beranggapan Gajah Mada bisa saja lupa diri dan haus kekuasaan, sehingga menjadi konflik dengan sang cucu Hayam Wuruk yang diproyeksikan sebagai raja muda. Apalagi, Hayam Wuruk naik takhta saat usianya begitu muda menggantikan Tribhuwana Tunggadewi, ibu kandungnya.
Di tengah minimnya pengalaman Hayam Wuruk sebagai raja muda, Gayatri khawatir cucunya itu diatur sedemikian rupa dalam menjalankan pemerintahan di Majapahit. Kekhawatiran Gayatri ini memang cukup beralasan, karena Gajah Mada sudah menjabat jabatan strategis Mahapatih Majapahit sejak Tribhuwana Tunggadewi bertakhta.
Namun, Gajah Mada dengan luar biasa bisa meyakinkan Gayatri bahwa ia mampu melindungi sang cucu yang bertakhta di Kerajaan Majapahit. Bahkan, Earl Drake, pada “Gayatri Rajapatni: Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit”, mengisahkan komitmen Gajah Mada kepada Hayam Wuruk dan menjaga janjinya ke Gayatri.
Hal itu membuat Gayatri luluh dan mengalah. Pertukaran pikiran antara Gayatri dengan Gajah Mada menjadi sesuatu hal yang biasa. Gayatri percaya Gajah Mada tidak menyalahgunakan rencananya itu demi kepentingan sendiri.
Gajah Mada yakin bahwa tanpa kendali langsung dari dirinya, masa depan kerajaan akan suram. Gayatri bisa memahami maksud Gajah Mada, tetapi ia khawatir akan rencana yang baru saja ia tuturkan. Tak seorang pun, termasuk Mahapatih Agung Gajah Mada, tak dapat digantikan.
Aparatur pemerintah dan gaya pemerintahan harus mampu menjawab tantangan zaman yang terus bergulir. Gajah Mada dan orang-orang baru wajib membantu berjalannya proses tersebut, alih-alih mempertahankan sistem yang lama.
Di mata Gayatri, Hayam Wuruk memiliki semua harapan untuk menjadi pangeran yang berbudi sesuai tradisi Jawa, sekaligus menjadi pengayom kesenian berbasis tradisi Bali. Namun, Gayatri tidak bisa berharap Hayam Wuruk memiliki semua atribut seorang raja besar yang berpengalaman di usianya yang belia.
Dalam kondisi-kondisi seperti ini, ia masih membutuhkan bimbingan yang kukuh dari Mahapatih Gajah Mada selama lima tahun semenjak menjabat, tetapi juga dari ibu, ayah, bibi, dan pamannya yang memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk mengimbangi pengaruh sang Mahapatih yang selalu tidak sabaran itu untuk lima tahun pertama.
Namun intinya, Gayatri ingin meninggal dengan tenang, menyaksikan tercapainya cita-cita bangsa yang selalu diimpikan sang suami, putrinya, dan dirinya sendiri, menyaksikan cerahnya masa depan negeri yang bersatu.
Ia berdoa semoga Buddha membimbing sang cucu dalam mengambil keputusan yang bijak dan arif sebagai seorang raja. Selain itu, ia juga berdoa bagi jiwa Gajah Mada yang bergejolak agar segera diberi kelegaan, kendati Gajah Mada acap kali membuatnya gusar.
Ia yakin meskipun Gajah Mada adalah seorang pemimpin yang percaya diri dan sukses, batinnya menderita kesepian dan kehampaan. Bahkan, Gayatri merasa Gajah Mada akan tambah kesepian sepeninggal dirinya.